|
LDK, BKLDK, Universitas Negeri Malang, UM, Dosa, Penghapus Dosa |
Hidup ini hanya curahan rahmat, kasih sayang dan bukti
kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Betapapun keadaannya. Bagaimanapunkondisinya.
Setiap sis, dinding, celah dan rongga kehidupan ini sepenuhnya tak ada yang
kosong dari kemurahan dan kasih sayang Allah SWT. Kita memang tak punya modal
atau andil apapun dalam kehidupan ini. Karenanya, bersyukur dan berterima
kasihlah pada Allah atas semuanya.
Kalaupun ada amal-amal kebaikan yang kitalakukan dalam hitup, itu juga tak
pernah lepas dari karunia Allah dan dengan pertolongan-Nya. Karena kita pasti
beramal dengan pendengaran, penglihatan, pikiran, kekuatan, kesehatan, anggota
tubuh, yang semuanya semata-mata adalah nikmat dan karunia Allah. Pantas dan
sangat agung sekali perkataan Ahli surga yang dikutip Al Qur`an: "Segala
puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini." (QS. Al
A'raf : 43). Mereka bersyukur pada Allah yang telah membimbing mereka melakukan
amal-amnal shalih dan memasukkan mereka ke dalam kenikmatan surga yang abadi.
Karena itu saudaraku,
Jangan pernah puas beramal. Jangan pernah berhenti beramal karena menengok dan
menghitung amal dan ketaatan yang telah kita lakukan. Karena memperhatikan
amal-amal kebaikan bisa menumbuhkan perasaan cukup dan kemudian menjadikan kita
merasa puas. Padahal rasa puas itulah yang akan melemahkan semangat dan
menghancurkan nilai-nilai amal itu sendiri. Ingatlah, kita tidak pernah tahu
nilai dan kualitas amal itu di hadapan Allah SWT. Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah perah menyinggung masalah ini. Katanya, setiap amal baik yang
dilakukan, pasti ada bagian dari nafsu dan syetan di dalamnya. Ia mengutip
sebuah hadits Rasulullah SAW saat ia ditanya mengenai orang yang menoleh ke
arah lain dalam shalatnya. Kemudian Rasul menjawab, "Itu adalah rampasan
yang dilakukan syetan terhadap shalat seseorang..." (HR Bukhari, Abu Daud,
Nasai dan Al Hakim). Ibnu Mas'ud mengomentari hadits ini dengan mengatakan,
"Bagian kecil dan sedikit itu dianggap sebagai keuntungan dan andil bagi
syetan terhadap sholat seseorang. Bagaimana dengan amal-amal yang
lainnya?"
Saudaraku,
Ada alasan lain kenapa kita dianjurkan untuk tidak menghitung-hitung ketaatan
dan kebaikan yang telah dilakukan. Seorang salafushalih pernah mengatakan,
"Adakalanya seorang melakukan kesalahan kemudian lalu masuk surga dan
adakalanya seorang hamba melakukan ketaatan lalu ia masuk neraka."
Orang-orang yang mendengarkannya bertanya, "Bagaimana itu bisa
terjadi?" Ia menjawab, "Dia berbuat dosa dan dosa itu selalu tampak
di matanya. Jika berdiri, duduk dan berjalan ia selalu teringat dengan dosanya
itu lalu membuat hatinya hancur, bertaubat, menyesal dan memohon ampunan kepada
Allah, sehingga keadaan itu menjadikannya selamat. Sementara orang yang
melakukan kebaikan, selalu melihat kebaikan itu di depan matanya. Jika ia
berdiri, duduk dan berjalan ia selalu ingat dengan kebaikan yag ia lakukan,
sehingga ia menjadi takabbur ujub dan merasa telah mendapatkan karunia Allah
SWT. Padahal kondisi itu menjadi sebab kebinasaannya.
Sungguh dalam makna perkatan yang diuraikan Ibnul Qayyim menanggapi perkataan
salafushalih itu. "Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seseorang
hamba, maka Dia bisa saja akan memberinya dosa yang membuat hatinya hancur,
kepalanya merunduk, tidak ujub dan tidak takabbur sehingga dosa ini lebih
bermanfaat dari sekian banyak ketaatan. Taubatnya inilah yang akan
menyelamatkannya. Seperti obat yang diminum untuk mengeluarkan penyakit di
dalam tubuh." Hidup ini hanya curahan rahmat, kasih sayang dan bukti
kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Betapapun keadaannya. Bagaimanapunkondisinya.
Setiap sis, dinding, celah dan rongga kehidupan ini sepenuhnya tak ada yang
kosong dari kemurahan dan kasih sayang Allah SWT. Kita memang tak punya modal
atau andil apapun dalam kehidupan ini. Karenanya, bersyukur dan berterima
kasihlah pada Allah atas semuanya.
Kalaupun ada amal-amal kebaikan yang kitalakukan dalam hitup, itu juga tak
pernah lepas dari karunia Allah dan dengan pertolongan-Nya. Karena kita pasti
beramal dengan pendengaran, penglihatan, pikiran, kekuatan, kesehatan, anggota
tubuh, yang semuanya semata-mata adalah nikmat dan karunia Allah. Pantas dan
sangat agung sekali perkataan Ahli surga yang dikutip Al Qur`an: "Segala
puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini." (QS. Al
A'raf : 43). Mereka bersyukur pada Allah yang telah membimbing mereka melakukan
amal-amnal shalih dan memasukkan mereka ke dalam kenikmatan surga yang abadi.
Karena itu saudaraku,
Jangan pernah puas beramal. Jangan pernah berhenti beramal karena menengok dan
menghitung amal dan ketaatan yang telah kita lakukan. Karena memperhatikan amal-amal
kebaikan bisa menumbuhkan perasaan cukup dan kemudian menjadikan kita merasa
puas. Padahal rasa puas itulah yang akan melemahkan semangat dan menghancurkan
nilai-nilai amal itu sendiri. Ingatlah, kita tidak pernah tahu nilai dan
kualitas amal itu di hadapan Allah SWT. Imam Ibnul Qayyim rahimahullah perah
menyinggung masalah ini. Katanya, setiap amal baik yang dilakukan, pasti ada
bagian dari nafsu dan syetan di dalamnya. Ia mengutip sebuah hadits Rasulullah
SAW saat ia ditanya mengenai orang yang menoleh ke arah lain dalam shalatnya.
Kemudian Rasul menjawab, "Itu adalah rampasan yang dilakukan syetan
terhadap shalat seseorang..." (HR Bukhari, Abu Daud, Nasai dan Al Hakim).
Ibnu Mas'ud mengomentari hadits ini dengan mengatakan, "Bagian kecil dan
sedikit itu dianggap sebagai keuntungan dan andil bagi syetan terhadap sholat
seseorang. Bagaimana dengan amal-amal yang lainnya?"
Saudaraku,
Ada alasan lain kenapa kita dianjurkan untuk tidak menghitung-hitung ketaatan
dan kebaikan yang telah dilakukan. Seorang salafushalih pernah mengatakan,
"Adakalanya seorang melakukan kesalahan kemudian lalu masuk surga dan
adakalanya seorang hamba melakukan ketaatan lalu ia masuk neraka."
Orang-orang yang mendengarkannya bertanya, "Bagaimana itu bisa terjadi?"
Ia menjawab, "Dia berbuat dosa dan dosa itu selalu tampak di matanya. Jika
berdiri, duduk dan berjalan ia selalu teringat dengan dosanya itu lalu membuat
hatinya hancur, bertaubat, menyesal dan memohon ampunan kepada Allah, sehingga
keadaan itu menjadikannya selamat. Sementara orang yang melakukan kebaikan,
selalu melihat kebaikan itu di depan matanya. Jika ia berdiri, duduk dan
berjalan ia selalu ingat dengan kebaikan yag ia lakukan, sehingga ia menjadi
takabbur ujub dan merasa telah mendapatkan karunia Allah SWT. Padahal kondisi
itu menjadi sebab kebinasaannya.
Sungguh dalam makna perkatan yang diuraikan Ibnul Qayyim menanggapi perkataan
salafushalih itu. "Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seseorang
hamba, maka Dia bisa saja akan memberinya dosa yang membuat hatinya hancur,
kepalanya merunduk, tidak ujub dan tidak takabbur sehingga dosa ini lebih
bermanfaat dari sekian banyak ketaatan. Taubatnya inilah yang akan
menyelamatkannya. Seperti obat yang diminum untuk mengeluarkan penyakit di
dalam tubuh." Hidup ini hanya curahan rahmat, kasih sayang dan bukti
kecintaan Allah kepada hamba-Nya. Betapapun keadaannya. Bagaimanapunkondisinya.
Setiap sis, dinding, celah dan rongga kehidupan ini sepenuhnya tak ada yang
kosong dari kemurahan dan kasih sayang Allah SWT. Kita memang tak punya modal
atau andil apapun dalam kehidupan ini. Karenanya, bersyukur dan berterima
kasihlah pada Allah atas semuanya.
Kalaupun ada amal-amal kebaikan yang kitalakukan dalam hitup, itu juga tak
pernah lepas dari karunia Allah dan dengan pertolongan-Nya. Karena kita pasti
beramal dengan pendengaran, penglihatan, pikiran, kekuatan, kesehatan, anggota
tubuh, yang semuanya semata-mata adalah nikmat dan karunia Allah. Pantas dan
sangat agung sekali perkataan Ahli surga yang dikutip Al Qur`an: "Segala
puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini." (QS. Al
A'raf : 43). Mereka bersyukur pada Allah yang telah membimbing mereka melakukan
amal-amnal shalih dan memasukkan mereka ke dalam kenikmatan surga yang abadi.
Karena itu saudaraku,
Jangan pernah puas beramal. Jangan pernah berhenti beramal karena menengok dan
menghitung amal dan ketaatan yang telah kita lakukan. Karena memperhatikan
amal-amal kebaikan bisa menumbuhkan perasaan cukup dan kemudian menjadikan kita
merasa puas. Padahal rasa puas itulah yang akan melemahkan semangat dan
menghancurkan nilai-nilai amal itu sendiri. Ingatlah, kita tidak pernah tahu
nilai dan kualitas amal itu di hadapan Allah SWT. Imam Ibnul Qayyim
rahimahullah perah menyinggung masalah ini. Katanya, setiap amal baik yang
dilakukan, pasti ada bagian dari nafsu dan syetan di dalamnya. Ia mengutip
sebuah hadits Rasulullah SAW saat ia ditanya mengenai orang yang menoleh ke
arah lain dalam shalatnya. Kemudian Rasul menjawab, "Itu adalah rampasan
yang dilakukan syetan terhadap shalat seseorang..." (HR Bukhari, Abu Daud,
Nasai dan Al Hakim). Ibnu Mas'ud mengomentari hadits ini dengan mengatakan,
"Bagian kecil dan sedikit itu dianggap sebagai keuntungan dan andil bagi
syetan terhadap sholat seseorang. Bagaimana dengan amal-amal yang
lainnya?"
Saudaraku,
Ada alasan lain kenapa kita dianjurkan untuk tidak menghitung-hitung ketaatan
dan kebaikan yang telah dilakukan. Seorang salafushalih pernah mengatakan,
"Adakalanya seorang melakukan kesalahan kemudian lalu masuk surga dan
adakalanya seorang hamba melakukan ketaatan lalu ia masuk neraka."
Orang-orang yang mendengarkannya bertanya, "Bagaimana itu bisa
terjadi?" Ia menjawab, "Dia berbuat dosa dan dosa itu selalu tampak
di matanya. Jika berdiri, duduk dan berjalan ia selalu teringat dengan dosanya
itu lalu membuat hatinya hancur, bertaubat, menyesal dan memohon ampunan kepada
Allah, sehingga keadaan itu menjadikannya selamat. Sementara orang yang
melakukan kebaikan, selalu melihat kebaikan itu di depan matanya. Jika ia
berdiri, duduk dan berjalan ia selalu ingat dengan kebaikan yag ia lakukan,
sehingga ia menjadi takabbur ujub dan merasa telah mendapatkan karunia Allah
SWT. Padahal kondisi itu menjadi sebab kebinasaannya.
Sungguh dalam makna perkatan yang diuraikan Ibnul Qayyim menanggapi perkataan
salafushalih itu. "Jika Allah menghendaki suatu kebaikan pada seseorang
hamba, maka Dia bisa saja akan memberinya dosa yang membuat hatinya hancur,
kepalanya merunduk, tidak ujub dan tidak takabbur sehingga dosa ini lebih bermanfaat
dari sekian banyak ketaatan. Taubatnya inilah yang akan menyelamatkannya.
Seperti obat yang diminum untuk mengeluarkan penyakit di dalam tubuh."
Dikutip dari Majalah Tarbawi edisi 39 Dikutip dari Majalah Tarbawi edisi 39
Dikutip dari Majalah Tarbawi edisi 39
Sumber: eramuslim - Rabu, 25 September 2002