Aqidah Kuat, Bangsa Hebat
indonesia, LDK, BKLDK, UM, Universitas Negeri Malang,Aqidah, Kuat, Pejuang, Islam |
Bukanlah sesuatu yang diragukan oleh
setiap orang yang berakal bahwa berdirinya sebuah bangunan dengan kokoh tanpa
pondasi merupakan perkara yang mustahil. Demikian pula agama ini, betapa sulit
menemukan -atau bahkan tidak ada- sosok seorang muslim yang mengagungkan
syi’ar-syi’ar Islam dan menunaikan berbagai aturannya dengan konsisten kecuali
mereka adalah sosok orang-orang yang beraqidah yang lurus.
Yang kita bicarakan bukanlah sekedar
semangat tanpa ilmu ataupun gerakan yang tidak dilandasi oleh
pertimbangan-pertimbangan yang matang. Namun yang sedang kita perbincangkan
saat ini -di tengah situasi yang penuh dengan terpaan syubhat dan syahwat di
atmosfer kehidupan kaum muslimin di berbagai belahan dunia- adalah kemunculan
para pemuda yang membangun segala aktifitasnya di atas pedoman-pedoman agama
yang bersumber dari al-Kitab dan as-Sunnah dengan mengikuti pemahaman salafush
shalih. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap ucapan yang terlontar dari lisan
mereka akan dicatat. Orang-orang yang meyakini bahwa setiap gerak-geriknya
selalu diawasi oleh Allah subhanahu wa ta’ala, Raja Yang Menguasai
kerajaan langit dan bumi. Orang-orang yang melandasi langkah-langkahnya dengan
niat ikhlas dan mengikuti ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Saudara-saudaraku sekalian,
kebangkitan para pemuda yang menyimpan kekuatan iman laksana benteng yang kokoh
di dalam jiwa dan raganya bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi di masa
seperti ini. Sebagaimana pula orang-orang di masa silam telah menyaksikan sosok
para pemuda Kahfi yang dinyatakan oleh Allah tentang keadaan mereka yang patut
kita teladani bersama, Allah berfirman yang artinya,
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ نَبَأَهُمْ
بِالْحَقِّ إِنَّهُمْ فِتْيَةٌ آَمَنُوا بِرَبِّهِمْ وَزِدْنَاهُمْ هُدًى
“Kami mengisahkan cerita mereka
kepada kamu dengan benar, sesungguhnya mereka itu adalah para pemuda yang
beriman kepada Rabb mereka, dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk.”
(QS. al-Kahfi [18] : 13).
Sebagaimana pula di hari kiamat
nanti Allah akan memberikan naungan-Nya kepada sosok pemuda yang tumbuh dalam
aktifitas ibadah
kepada Rabbnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda
tentang hal ini, “Ada tujuh golongan manusia yang akan mendapatkan naungan
dari Allah di hari ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya,..” di
antaranya adalah, “Seorang pemuda yang tumbuh dalam beribadah kepada Allah.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Kebangkitan para pemuda dari
berbagai belahan dunia untuk membela agama ini dari penghinaan musuh-musuh-Nya
adalah kabar gembira yang menyejukkan hati. Namun yang kita sayangkan adalah
sebuah kebangkitan yang tidak menjadikan ilmu syar’i dan para ulama sebagai
pemandu perjuangan mereka. Mereka bergerak dan bertindak tanpa koordinasi,
tanpa perhitungan yang matang, membabi buta dan serampangan. Maka muncullah
berbagai aksi pengeboman di tempat-tempat umum, pembunuhan tanpa alasan,
gerakan-gerakan rahasia untuk menghasut rakyat dalam rangka menggulingkan
pemerintahan, bahkan tidak jarang kita dengar caci maki dan celaan pun mereka
arahkan kepada manusia-manusia pewaris para nabi yaitu para ulama.
Saudara-saudaraku sekalian, para
pemuda yang merindukan kejayaan Islam dan kaum muslimin di muka bumi ini,
ketahuilah bahwa kejayaan yang kita dambakan tidak akan terwujud tanpa
keikhlasan, kucuran keringat, perasan pikiran, ketundukan kepada Allah, dan
tetesan air mata taubat dan penyesalan. Janganlah anda kira bahwa para sahabat
dahulu bisa menang menaklukkan berbagai negeri dalam jangka waktu yang tidak
lama, karena kekuatan materi yang mereka miliki. Janganlah anda kira sosok
orang yang keras seperti Umar bin Khattab bisa masuk Islam dan menjadi
pembelanya hanya semata-mata karena upaya dirinya sendiri ataupun ajakan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun lebih dari itu semua, kemenangan, petunjuk
dan ketegaran yang mereka miliki adalah berkat taufik dan anugerah dari Allah
ta’ala yang diberikan-Nya kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Allah ta’ala berfirman tentang
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Kamu tidaklah bisa
memberikan petunjuk kepada orang yang kamu senangi akan tetapi Allah yang
memberikan petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki.” (QS.
al-Qashash [28] : 56).
Oleh sebab itu Ibnul Qayyim
mengatakan di dalam sebuah kitabnya, “Asas segala kebaikan adalah pengetahuan
yang kamu miliki bahwa apa pun yang Allah kehendaki pasti terjadi dan apa yang
tidak Allah inginkan tidak akan terjadi. Dengan demikian maka pastilah
bahwasanya segala kebaikan adalah berkat dari nikmat-Nya, sehingga kamu pun
wajib mensyukurinya dan merendahkan diri untuk memohon kepada-Nya agar Dia
tidak memutus kenikmatan itu darimu. Dan juga menjadi terang bahwasanya segala
keburukan itu timbul akibat tidak mendapatkan bantuan dari-Nya dan tertimpa
hukuman-Nya. Oleh sebab itu segeralah kamu memohon kepada-Nya agar Dia
menghalangimu supaya tidak terperosok ke sana. Dan juga mintalah kepada-Nya
agar tidak membiarkan dirimu sendirian dalam melakukan kebaikan dan
meninggalkan kejelekan. Semua orang yang mengenal Allah pun telah sepakat bahwa
segala kebaikan maka sumbernya adalah karena taufik dari Allah kepada hamba.
Dan mereka pun sepakat bahwa segala keburukan merupakan akibat hamba tidak
mendapatkan pertolongan dari-Nya…” (al-Fawa’id, hal. 94).
Sesungguhnya perjuangan yang bisa
mengantarkan generasi pendahulu umat ini menuju kejayaan bukan akibat kekarnya
tubuh mereka, lengkapnya persenjataan mereka, atau harta mereka yang melimpah
ruah di mana-mana. Akan tetapi karena Allah ta’ala melihat hati-hati mereka dan
Allah menemukan bahwa hati mereka adalah hati-hati yang bersih dari syirik dan ketergantungan
hati kepada selain-Nya, itulah hati sebaik-baik golongan manusia yang pernah
hidup di jagad raya ini. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu
mengatakan,
إِنَّ اللَّهَ نَظَرَ فِي قُلُوبِ
الْعِبَادِ فَوَجَدَ قَلْبَ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرَ
قُلُوبِ الْعِبَادِ فَاصْطَفَاهُ لِنَفْسِهِ فَابْتَعَثَهُ بِرِسَالَتِهِ ثُمَّ
نَظَرَ فِي قُلُوبِ الْعِبَادِ بَعْدَ قَلْبِ مُحَمَّدٍ فَوَجَدَ قُلُوبَ
أَصْحَابِهِ خَيْرَ قُلُوبِ الْعِبَادِ فَجَعَلَهُمْ وُزَرَاءَ نَبِيِّهِ
يُقَاتِلُونَ عَلَى دِينِهِ
“Sesungguhnya Allah melihat hati
para hamba. Dan Allah dapati hati Muhammad adalah sebaik-baik hati manusia maka
Allah pun memilihnya untuk diri-Nya dan Allah bangkitkan dia sebagai pembawa
risalah-Nya. Kemudian Allah melihat hati hamba-hamba yang lain setelah hati
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian Allah dapati bahwa hati para
sahabatnya adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pun menjadikan mereka
sebagai pembantu nabi-Nya dan berperang bersama beliau untuk membela agama-Nya…”
(HR. Ahmad di dalam Musnadnya, dihasankan al-Albani dalam Takhrij
at-Thahawiyah)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah di masaku (para sahabat),
kemudian orang-orang sesudah mereka (tabi’in), kemudian orang-orang sesudah
mereka (tabi’ut tabi’in).” (HR. Bukhari dan Muslim). Padahal kita telah
mengetahui bersama bahwa baik dan buruk pada manusia dalam pandangan Allah
bukanlah karena harta, pangkat, ataupun keelokan parasnya. Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Allah tidaklah melihat kepada
rupa ataupun harta yang kalian miliki. Akan tetapi Allah melihat hati dan amal
kalian.” (HR. Muslim). Apakah akan kita katakan bahwa para sahabat itu
hanya baik dari sisi lahirnya sementara hati mereka tidak ubahnya seperti
hatinya Abdullah bin Ubay bin Salul (gembong munafikin)? Padahal Allah juga
telah menegaskan di dalam kitab-Nya bahwa orang-orang yang senantiasa
mengagungkan syi’ar-syi’ar-Nya -dan para sahabat adalah orang terdepan dalam
hal itu- adalah orang-orang yang memendam ketakwaan di dalam lubuk hatinya.
Allah ta’ala berfirman,
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ
اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah, barangsiapa yang
mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya hal itu muncul dari
ketakwaan yang ada di dalam hati.” (QS. al-Hajj [22] : 32).
Ibnu Katsir rahimahullah
menjelaskan di dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud dengan syi’ar-syi’ar Allah
adalah perintah-perintah-Nya. Dan salah satu bentuk mengagungkan syi’ar Allah
adalah dengan mengagungkan hewan kurban. Hal itu sebagaimana tafsiran yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas yang mengatakan, “Yang dimaksud mengagungkannya
adalah dengan memilih hewan kurban yang gemuk dan baik.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim,
5/310).
Nah, bagaimana mungkin akan kita
katakan bahwa para sahabat yang tidak hanya memilihkan hewan kurban yang gemuk
untuk berkurban; mereka pun rela menyumbangkan apa saja yang mereka punyai demi
dakwah Islam, bahkan di antara mereka ada yang rela menyerahkan tubuhnya
sendiri untuk menjadi sasaran anak panah demi melindungi Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam dari anak panah orang-orang kafir dalam suatu
pertempuran, apakah akan kita katakan bahwa para sahabat adalah para penjahat yang
berperilaku laksana musang berbulu domba dan pengkhianat agama yang kembali
menjadi kafir sesudah wafatnya Nabi? Bukankah Nabi sendiri telah bersabda
dengan wahyu yang diwahyukan kepadanya, “Janganlah kalian mencela para
sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Seandainya ada salah
seorang di antara kalian yang berinfak dengan emas sebesar gunung Uhud, maka
itu tidaklah bisa menyamai satu mud (satu genggam dua telapak tangan) infak
mereka, tidak juga setengahnya.” (HR. Muslim).
Apakah yang membedakan tubuh kita
dengan tubuh para sahabat? Mereka punya kaki, tangan dan indera sebagaimana
yang kita miliki. Mereka mengeluarkan harta untuk berinfak dan kita pun
mengeluarkannya. Mereka mengerjakan shalat, dan kita pun mengerjakannya seperti
mereka. Mereka makan dan minum sebagaimana kita juga butuh makan dan minum.
Namun, ketahuilah saudaraku, ternyata apa yang tertancap di dalam dada kita
tidak sehebat dan sekokoh yang tertancap di dalam dada para sahabat. Mereka
memiliki keimanan laksana gunung. Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu
mengatakan, “Seandainya iman yang dimiliki Abu Bakar ditimbang dengan iman
segenap penduduk bumi (selain para nabi, pen), niscaya timbangannya lebih berat
daripada timbangan iman mereka.” (HR. al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Iman).
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu mengatakan, “Barangsiapa di antara
kalian yang ingin meniti sebuah jalan maka ikutilah jalan yang ditempuh oleh
para ulama yang sudah meninggal itu yaitu para sahabat Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Mereka adalah manusia-manusia terbaik dari umat ini. Hati
mereka lebih baik, dan ilmu mereka lebih dalam, serta paling sedikit
membeban-bebani diri. Suatu kaum yang telah dipilih oleh Allah untuk menemani
Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mentransfer agama-Nya, maka tirulah
akhlak dan jalan hidup mereka. Sebab mereka berada di atas petunjuk yang lurus.”
(HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah, dilemahkan al-Albani dalam Takhrij
al-Misykat).
Maka janganlah heran apabila kalian
mendengar Anas bin Malik radhiyallahu’anhu mengatakan, “Sesungguhnya kalian
benar-benar melakukan perbuatan-perbuatan yang dalam pandangan kalian sangat
sepele dan ringan -lebih ringan daripada rambut-, padahal bagi kami yang hidup
di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami menganggapnya termasuk perkara
yang mencelakakan.” (HR. Bukhari). Lihatlah para sahabat dengan segenap
kemuliaan yang mereka sandang -di antara mereka ada sepuluh orang yang dijamin
masuk surga, dan seribu empat ratus lebih orang yang dijamin masuk surga- ternyata
hati mereka sangatlah lembut dan mulia. Ibnu Abi Mulaikah menceritakan
sebagaimana diriwayatkan oleh Bukhari di dalam Sahihnya, “Aku telah bertemu
dengan tiga puluh orang sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam
dan mereka semua merasa khawatir di dalam dirinya terjangkit kemunafikan.”
Bandingkanlah dengan kondisi sebagian kita pada hari ini; yang dengan mudah
mengerjakan hal-hal yang makruh, yang dengan ringan meninggalkan sebagian
kewajiban dengan alasan-alasan yang dibuat-buat, yang dengan enteng
meninggalkan perkara sunnah,
yang dengan santai menyia-nyiakan kesempatan untuk meraih perkara yang lebih
utama. Aduhai, betapa jauhnya derajat kita dengan mereka laksana jauhnya langit
dengan bumi!
Para sahabat adalah orang-orang yang
sangat mudah menerima nasihat. Hal itu dapat kita ketahui dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Irbadh bin Sariyah. Dia menceritakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati kami dengan sebuah nasihat menyentuh
yang membuat hati-hati bergetar dan mata mencucurkan air mata…” (HR. Abu
Dawud dan Tirmidzi). Inilah hatinya orang-orang yang benar-benar beriman. Hati
yang bergetar ketika disebutkan tentang kebesaran Allah dan ayat-ayat-Nya.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang-orang yang beriman
adalah orang-orang yang apabila disebutkan nama Allah hati mereka bergetar
(takut), dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya maka iman mereka
bertambah. Dan mereka hanya bertawakal kepada Rabb mereka.” (QS. al-Anfal [8] : 2).
Para sahabat adalah orang-orang yang
sangat bersemangat dalam meraih kebaikan. Mereka berlomba-lomba dengan segala
kemampuan yang ada untuk bisa meraih ketinggian derajat di sisi-Nya. Karena
mereka sadar bahwa kemuliaan di sisi Allah adalah dinilai dengan ketakwaan,
bukan dengan uang, kecantikan, jabatan, banyaknya relasi ataupun polularitas.
Allah ta’ala berfirman yang artinya, “Sesungguhnya orang yang paling mulia
di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa di antara
kalian.” (QS. al-Hujurat [49] : 13). Salah seorang di antara mereka datang
kepada Rasulullah dan mengatakan, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada
saya suatu amalan yang membuat saya dicintai Allah dan disukai oleh manusia…”
(HR. Ibnu Majah). Di waktu yang lain ada juga yang berkata kepada beliau, “Wahai
Rasulullah katakanlah kepadaku suatu ucapan dalam Islam ini yang tidak akan aku
tanyakan kepada selainmu…” (HR. Muslim). Ada lagi yang berkata kepada
beliau, “Wahai Rasulullah, tunjukkanlah kepada saya suatu amalan yang bisa
memasukkan saya ke dalam surga dan menjauhkan saya dari api neraka…” (HR.
Tirmidzi). Orang-orang yang tidak berharta di antara mereka pun ingin beramal
sebagaimana orang yang kaya di antara mereka. Mereka mengatakan, “Orang-orang
kaya pergi dengan membawa pahala-pahala mereka. Padahal mereka shalat
sebagaimana kami shalat.
Mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, namun mereka bisa bersedekah dengan
kelebihan harta mereka (sedangkan kami tidak, pen)..” (HR. Muslim). Lihatlah betapa tinggi cita-cita mereka!
Para sahabat adalah orang-orang yang
menunjung tinggi sabda-sabda dan petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu Abbas mengatakan, “Hampir-hampir saja turun hujan batu dari langit
kepada kalian; aku katakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda demikian, namun kalian justru mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar
berkata lain!” (HR. Abdur Razzaq). Bandingkanlah dengan keadaan sebagian
orang pada masa belakangan ini yang menolak hadits-hadits Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan dalih bertentangan dengan akal, bahkan ada
lagi yang berani menuduh -hadits yang disepakati para ulama tentang
keabsahannya- sebagai hadits yang bertentangan dengan ayat al-Qur’an; sehingga
mereka mengatakan bahwa anjing tidak haram dimakan. Ada pula orang-orang yang
tidak paham ilmu hadits menolak hadits-hadits ahad dalam masalah aqidah dengan alasan hadits ahad tidak menghasilkan ilmu yakin. Wahai kaum muslimin, kekhilafahan, daulah, dan
ketenteraman seperti apakah yang kalian dambakan jika para pejuangnya masih
belepotan dengan kerancuan pemikiran dan penyimpangan manhaj semacam ini?!
Para sahabat adalah orang-orang yang
mengimani nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya, tanpa menolak,
tanpa menyelewengkan dan tanpa menyerupakan. Oleh sebab itu ketika ditanya
tentang makna istiwa’ Imam Malik mengatakan, “Istiwa’ sudah dimengerti
maknanya. Namun tata caranya tidak diketahui, dan menanyakan tentang caranya
adalah bid’ah.” (HR. al-Baghawi dalam Syarh as-Sunnah).
Ini semua menunjukkan kepada kita
-wahai umat Islam yang hidup di sepanjang jaman- bahwa kemenangan dan
keberhasilan yang digapai oleh para sahabat bukan semata-mata karena tajamnya
pedang mereka, keberanian mereka yang sangat luar biasa, ataupun persatuan
mereka yang kokoh dan erat. Namun lebih daripada itu semua, keberhasilan yang
mereka raih terlahir dari pengagungan hati mereka kepada Sang Penguasa alam
semesta Allah subhanahu wa ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Ingatlah bahwa di dalam tubuh terdapat segumpal daging. Kalau ia
baik, maka baiklah seluruh anggota badan. Dan kalau ia rusak, maka rusaklah
seluruh anggota badan. Ketahuilah ia adalah jantung.” (HR. Bukhari dan
Muslim). Demikianlah pentingnya hati bagi amalan, ibarat jantung bagi anggota
badan.
Maka sekarang kita akan bertanya
kepada diri kita masing-masing : Di tengah derasnya gelombang dekadensi moral
dan kerusakan akhlak, perancuan akidah dan penyesatan pikiran yang melanda umat
Islam di negeri ini, apakah ada sosok para pemuda yang giat mempelajari aqidah
Islam dan membelanya dari serangan musuh-musuh-Nya. Dia tekuni buku-buku aqidah
yang ditulis para ulama; Tsalatsatul Ushul, Qawa’idul Arba’, Kasyfu
Syubuhat, Kitabut Tauhid,
Fathul Majid dan lain sebagainya untuk memperbaiki dirinya dan kemudian
dia gunakan untuk menyadarkan hati-hati kaum muslimin dari tidur panjang
mereka, membangkitkan kesadaran mereka untuk kembali kepada kemuliaan Islam
yaitu dengan berpegang teguh dengan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman
para sahabat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya
Allah akan mengangkat derajat sebagian kelompok dengan sebab Kitab ini
(al-Qur’an) dan Allah juga akan merendahkan sebagian yang lainnya karenanya.”
(HR. Muslim).
Apakah sekarang -di negeri ini- kita
bisa memimpikan berdirinya sebuah Negara Islam yang berhukum dengan al-Qur’an
dan as-Sunnah dalam segala sisi kehidupan, sementara dalam urusan pakaian saja
banyak sekali di antara kaum muslimin yang belum mengerti pakaian yang sesuai
dengan syari’at -terlebih khusus kaum muslimah? Apakah kita sekarang bisa mengangankan tegaknya daulah
Islam apabila ternyata di tengah-tengah kita pornografi, kesyirikan,
kebid’ahan, perbuatan keji dan kemaksiatan dikerjakan dengan terang-terangan di
mana-mana? Apakah sekarang kita bisa merindukan berdirinya sebuah kekhilafahan
sebagaimana kekhilafahan Umar bin Abdul Aziz yang sangat keras dalam menegakkan
keadilan, padahal di antara kita kezaliman yang paling besar yaitu syirik dibiarkan bahkan dipromosikan melalui berbagai media dan
sarana? Apakah kita sekarang bisa mencita-citakan terjadinya perdamaian dan
kehidupan yang tenteram, sementara orang-orang yang merusak aqidah umat Islam
dan mengobrak-abrik pondasi-pondasi agama berkeliaran dan mengumbar racun-racun
pemikiran sehingga memisahkan tubuh kaum muslimin dari ruh mereka? Lihatlah apa
yang telah mereka perbuat : Mereka bela mati-matian aliran-aliran sesat demi
mengatasnamakan toleransi palsu dan kebebasan ala Iblis yang berani menolak
perintah Tuhannya. Seolah-olah mereka mengatakan kepada kita : Silakan kalian
bersyahadat namun yakinilah Islam sebagaimana keyakinan Abdullah bin Ubay bin
Salul (gembong munafikin)!
Melihat fenomena penyimpangan aqidah yang begitu marak akhir-akhir ini apakah para penggerak dakwah di berbagai penjuru negeri ini tidak tersadar bahwasanya
memang sumber kerusakan bangsa ini adalah kerusakan aqidah dan akhlak mereka kepada Rabbnya. Sehingga sudah selayaknya
mereka bersatu padu dan bahu membahu membersihkan bumi pertiwi ini dari
sampah-sampah kesyirikan, pemikiran liberal dan aliran-aliran sesat lagi
menyimpang. Adakah seorang muslim yang mengatakan bahwa orang yang
mempersekutukan Allah dalam beribadah sebagai orang yang berakhlak? Di manakah
letak kemuliaan akhlak
pada diri orang yang berpendapat bahwa kita tidak wajib mengikuti syari’at Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam? Di manakah letak sikap rendah
hati pada diri orang yang mengatakan bahwa keyakinan bahwa Islam sudah sempurna
merupakan salah satu bentuk kemalasan berpikir?
Penulis : Ari Wahyudi