Baca yuk
Loading...

Al Qur’an dan Sebuah Zaman; Mana yang Harus Menyesuaikan?

     
 
LDK, BKLDK, hukum islam, zaman, FUSI, UM, universitas negeri malang, Al Qur'an, Allah, Adil, Khilafah
    Atikah menyambutku saat aku memasuki pelataran Masjid Salahuddin. Banyak mahasiswa hilir-mudik, keluar-masuk masjid. Ada yang masuk mau menunaikan shalat ashar, ada yang keluar hendak masuk kuliah atau pulang ke kos. Jamaah pengajian sudah banyak yang berkumpul melingkar menungguku datang. Saat ini giliranku menyampaikan presentasi. Pengajian ini menggunakan metode dialog bukan monolog seperti ceramah KH Zainuddin MZ yang terkenal itu. Jamaah ini paling banyak 20 orang yang mengikuti, kalau KH Zainuddin bisa puluhan ribu yang hadir. Makanya dijuluki kyai sejuta umat. 

     Atikah menggandengku berjalan menuju jamaah yang duduk melingkar. Saat aku tiba mereka berdiri dan bersalaman satu-persatu, yang perempuan dengan cium pipi kanan dan kiri, sedangkan laki-laki cukup bersalaman tangan saja. Aku bersikap moderat saja. Ada mahasiswa berjilbab lebar yang tak suka bersalaman dengan pria. Bahkan ada yang memakai cadar serba hitam sesuai warna dengan jubah dan jilbabnya. Pernah kulihat fotonya yang terbuka, wajahnya cantik. Tiap hari wajah cantiknya itu dibungkus cadar seperti ketan dibungkus daun pisang layaknya sebuah lemper. Tentu tidak semua wajah secantik Aliyah yang dibungkus cadar. Mungkin juga ada wajah-wajah berjerawat seperti Irma yang disimpan di balik sebuah cadar.

Kali ini aku bawakan makalah pendek yang sudah difotokopi. Komputer pemberian mas Anto benar-benar memudahkan aktifitasku. Makalahku berjudul, Usaha Memahami al-Quran dan Mengamalkannya.” Makalah ini sebanyak 5 lembar spasi 1,5 ukuran A4. Atikah membagikan makalah itu ke anggota jamaah. Mereka berebut dan segera membacanya, sebuah antusiasme yang menyenangkan hatiku. Sebuah kesenangan tersendiri kalau kita menulis dan orang mau membacanya. Apalagi kalau membacanya sambil melotot seperti bola matanya hendak keluar. Berarti keseriusan pikirannya sedang mencecap bait-bait kalimat yang berderet. Bayangkan, aku menulisnya dengan sepenuh hati hingga larut malam, kalau tak ada manusia satu pun yang membacanya tentu akan melunturkan semangatku untuk menulis. Alhamdulillah, Atikah dan kawan-kawan antusias membaca tulisan itu. Ada juga sih, yang cuma membuka-buka saja lembaran-lembaran itu tanpa berusaha membacanya dengan serius. Tapi aku husnuzon saja, ia pasti membacanya di rumah. Kepuasan penulis yang utama adalah karyanya dibaca; perkara setuju atau tidak urusan selanjutnya. Aku pun begitu, akan senang jika ada yang mengkritisi tulisanku secara tajam, membantahnya dengan argumentasi yang kukuh, dan itu sangat menyenangkan. Dari pada yang bilangnya setuju tapi enggan membacanya secara serius.

Atikah membuka acara dan mempersilakan aku menyampaikan pokok-pokok pemikiran yang telah tertuang dalam makalah yang sudah dibagikan itu. Aku pun mengucapkan salam dan berusaha menyampaikan inti dari makalah itu.

“Bagi seorang muslim meyakini al-Quran adalah bagian dari rukun imannya. Bukanlah seorang muslim jika ia mengingkari kebenaran al-Quran, dan selanjutnya memahami dan menjalankan dalam kehidupannya. al-Quran adalah ajaran mutlaq, yang berarti sebuah ajaran yang pasti benar. Istilah kafir lahir di masa Nabi karena adanya orang yang menolak al-Quran sebagai wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Muhammad. Kafir adalah orang yang tertutup hati dan pikirannya terhadap kebenaran yang datang kepadanya.

“al-Quran yang mutlak itu sedikit mengandung ayat dengan arti yang jelas terperinci. Sebagian besar ayat-ayatnya mengandung makna yang umum. Karena itulah umat umat Islam berusaha menafsirkan ayat-ayat al-Quran agar diperoleh pemahaman yang terperinci sehingga dapat dioperasionalkan dalam kehidupannya. Usaha memahami dan menafsirkan al-Quran ini dilakukan setelah Nabi meninggal. Di mana selama ini usaha menafsirkan al-Quran dilakukan Nabi sendiri. Hadis Nabi adalah tafsiran pertama kali terhadap al-Quran.

Aku tarik nafas dan membuangnya. Sejenak aku raih Aqua gelas dan meminumnya. Tenggorokan terasa segar kembali. Jamaah masih menyimak sambil membuka-buka lembaran makalah yang dipegangnya.

“Harus dibedakan antara ajaran mutla al-Quran dengan hasil tafsirannya yang bersifat relatif. Kita meyakini kebenaran al-Quran adalah mutla (pasti benar), namun kebenaran hasil tafsiran al-Quran adalah relatif, bisa benar dan bisa salah. Jangan sampai kita terjebak ke dalam perangkap ini. Menganggap benar secara mutlak hasil sebuah penafsiran terhadap al-Quran. Karena kalau al-Quran berasal dari Allah, sedangkan penafsirannya adalah hasil ijtihad manusia.”

Aku menutup presentasi dan menyerahkan waktu kepada Atikah untuk mengatur dialog, kalau ada pertanyaan dan tanggapan. Atikah mempersilakan di antara teman-teman jamaah yang mau bertanya atau menanggapi. Inilah model kampus yang aku sukai, pendengar diberi kesempatan untuk bertanya kalau dirasa ada materi yang perlu ditanyakan, baik hendak menguatkan atau menolaknya kalau dirasa tidak sesuai dengan pemikirannya. Dengan begitu pemikiran bisa saling bergesekan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih argumentatif. Seperti padi yang bergesekan akhirnya keluarlah beras putih.

“Bukankah syarat untuk menjadi mufassir (penafsir al-Quran) begitu beratnya? Sangatlah sulit orang-orang di zaman ini dapat memenuhi prasyarat-prasyarat itu? Apakah manusia di era kita ini tidak akan menafsirkan al-Quran dengan hawa nafsu mereka sendiri?” Pertanyaan yang berbau tanggapan dari Aliyah, gadis bercadar. Aku meminta Atikah langsung bisa menanggapi sebuah pertanyaan agar dialognya mengalir. Atikah dan teman-teman menyetujuinya.

“Dengan kerendahan hati tentu umat Islam saat ini harus berusaha memahami dan menafsirkan al-Quran di eranya sendiri. Hasil karya tafsir ulama-ulama masa lalu adalah bagian dari referensi penting untuk memperkaya khazanah intelektualisme Islam. Namun harus dipahami, bahwa sehebat apa pun sebuah pemikiran ia takkan tahan melintasi ruang dan waktu. Yang bertahan dalam ruang dan waktu adalah ajaran mutlak itu sendiri; al-Quran. Hasil penafsirannya adalah tetap menjadi ajaran relatif. Sebuah hasil penafsiran yang unggul di tempat dan zaman tertentu boleh jadi akan redup di tempat dan waktu yang berbeda. Bagian dari menghidupkan Islam adalah usaha untuk memahami dan menafsirkan al-Quran sesuai dengan zaman yang terus berubah.”

“Berarti al-Quran yang kita sesuaikan dengan sebuah zaman, bukan zaman yang mengikuti al-Quran? Itulah yang saya maksud dengan mengikuti hawa nafsu dalam menafsirkan al-Quran. Kalau itu kita lakukan namanya kita mengakui Islam namun kita memperkosa al-Quran hanya demi hawa nafsu kepentingan kita sendiri, bukan bermaksud menegakkan Islam dalam kehidupan kita.” Aliyah kembali menohokkan argumentasinya. Aku terdiam sejenak, mencari titik untuk menanggapi argumentasinya.

“Justru itulah arti bahwa al-Quran adalah petunjuk (huda) sepanjang masa. al-Quran memuat nilai-nilai prinsip yang penting bagi kemaslahatan manusia sepanjang sejarah manusia. Setiap generasi mendialogkan problem yang dihadapinya dengan teks-teks al-Quran, sembari memahami latar belakang ayat yang diturunkan di masa Nabi. Bukankah kita juga mengenal ilmu Asbabun Nuzul (sebab-sebab turunnya al-Quran) dari ulama terdahulu? Dan coba kita perhatikan, bahwa al-Quran diturunkan ke bumi ini dengan bertahap, bukan sekaligus satu mushaf (satu bundel) lengkap seperti yang kita kenal sekarang. Itu menunjukkan Islam diturunkan ke bumi oleh Allah dengan metode manusiawi; menyejarah. al-Quran diturunkan dengan metode manusiawi; bertahap sesuai problem yang dihadapi. Begitu pula cara kita memahaminya dan menerjemahkan dalam sepanjang sejarah manusia juga dengan metode yang manusiawi pula; akal sehat dan ilmu pengetahuan yang terus berkembang.”

“Jadi mengamalkan al-Quran itu bukan berarti kita mengembalikan perilaku kita kepada cara-cara di mana masa Nabi hidup dan al-Quran diturunkan?” Ahmad tiba-tiba menyela.

“Menurut saya itu menyempitkan makna al-Quran sebagai ajaran universal. Dalam memahami al-Quran seperti yang saya jelaskan tadi, latar belakang turunnya ayat, teks ayat, dan problem kekinian haruslah berdialektika untuk mengeluarkan makna, petunjuk yang bisa kita operasionalkan dalam kehidupan kita kini. Dan hasil penafsiran itu pun suatu saat juga akan digugat oleh generasi yang akan datang karena tidak relevan lagi. Namun al-Quran tetap berada dalam posisinya yang tinggi sebagai ajaran mutlak itu. Kita jangan terjebak dengan tradisi arab di mana al-Quran diturunkan, karena al-Quran diturunkan untuk seluruh manusia di muka bumi ini. Meskipun untuk memahami al-Quran disyaratkan memahami bahasa arab, bahasa yang digunakan al-Quran. Karena Islam bukan arab. Dan kita yang di Indonesia ini harus mewujudkan masyarakat Qurani tanpa menjadi Arab. Islam itu harus dibumikan dengan obyektifikasi, kata mas Kuntowiojoyo. Nilai-nilai Islam menjadi nilai-nilai obyektif yang membumi meskipun tak nampak berlabel Islam.”

Diskusi semakin seru dan cukup membuatku berkeringat. Terlalu panjang jika aku tuliskan semua pertanyaan dan tanggapan yang berkembang. Akhirnya diskusi itu ditutup oleh Atikah. Aliyah gadis bercadar itu mungkin tidak puas dengan jawaban atau tanggapanku, tetapi kurasa ia tetap tersenyum. Aku tidak dapat memastikan ekspresi wajahnya karena cadar telah menghalangi mataku untuk menangkap ekspresinya.

Selepas magrib Atikah mengajakku makan di jalan Kaliurang dekat kampus. Di situ ada warung sunda yang pertama kali Atikah mengenalkan lalapan. “Agar tetap cerdas kita makan di sini lagi,” kata Atikah dengan tertawa. Aku serahkan sama Atikah menu apa yang kita santap kali ini. Rupanya ia memesan pepes ikan mas dan ayam goreng. Kalau lalapannya sudah bertebaran dengan sambal di meja di depan kami. Pesanan datang dan segeralah kami melahapnya dengan khusyu’. Diskusi yang panjang dan menguras pikiran membuat nafsu makanku berkobar-kobar. Memang badan terasa tegar setelah merumput di warung sunda ini. 

Sumber : kompasiana.com
Copyright © 2013 Lembaga Dakwah Kampus All Right Reserved