Kepergian Bulan Ramadhan
Ramadhan Penuh Hikmah, Sikap Seorang Muslim, Kepergian Ramadhan, Ramadhan Berlalu |
Tidak Terasa, Waktu seperti begitu cepat berlalu.
Kita kini telah berada di penghujung Ramadhan. Sekarang kita telah berada pada
hari ke-28 Ramadhan, yang artinya tinggal 2 hari lagi bulan suci ini akan
pergi. Kalau kita perhatikan masyarakat di sekeliling kita, sebagian mereka
bahkan mulai disibukkan dengan hiruk pikuk Idul Fitri. Luapan kegembiraan sudah
terasa. Mall-mall menjadi padat. Lalu lintas lambat merayap. Banyak rumah
berganti cat. Baju baru dan makanan enak juga telah siap.
Jika demikian gempitanya masyarakat
kita berbahagia di penghujung akhir Ramadhan, tidak demikian dengan para
sahabat dan salafus shalih. Semakin dekat dengan akhir Ramadhan, kesedihan
justru menggelayuti generasi terbaik itu. Tentu saja kalau tiba hari raya Idul
Fitri mereka juga bergembira karena Id adalah hari kegembiraan. Namun di akhir
Ramadhan seperti ini, ada nuansa kesedihan yang sepertinya tidak kita miliki di
masa modern ini.
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Mengapa para sahabat dan orang-orang
shalih bersedih ketika Ramadhan hampir berakhir? Kita bisa menangkap alasan
kesedihan itu dalam berbagai konteks sebab.
Pertama, patutlah orang-orang beriman bersedih ketika menyadari
Ramadhan akan pergi sebab dengan perginya bulan suci itu, pergi pula berbagai
keutamaannya.
Bukankah Ramadhan bulan yang paling
berkah, yang pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup? Bukankah hanya
di bulan suci ini syetan dibelenggu? Maka kemudian ibadah terasa ringan dan
kaum muslimin berada dalam puncak kebaikan?
قَدْ جَاءَكُمْ شَهْرُ رَمَضَانَ
شَهْرٌ مُبَارَكٌ افْتَرَضَ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ يُفْتَحُ فِيهِ
أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَيُغْلَقُ فِيهِ أَبْوَابُ الْجَحِيمِ وَتُغَلُّ فِيهِ
الشَّيَاطِينُ
Telah datang kepada kalian bulan yang
penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu
surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu… (HR. Ahmad)
Bukankah hanya di bulan Ramadhan
amal sunnah diganjar pahala amal wajib, dan seluruh pahala kebajikan
dilipatgandakan hingga tiada batasan?
Semua keutamaan itu takkan bisa
ditemui lagi ketika Ramadhan pergi. Ia hanya akan datang pada bulan Ramadhan
setahun lagi. Padahal tiada yang dapat memastikan apakah seseorang masih hidup
dan sehat pada Ramadhan yang akan datang. Maka pantaslah jika para sahabat dan
orang-orang shalih bersedih, bahkan menangis mendapati Ramadhan akan pergi.
Kedua, adalah peringatan dari Rasulullah SAW bahwa semestinya
Ramadhan menjadikan seseorang diampuni dosanya. Jika seseorang sudah mendapati
Ramadhan, sebulan bersama dengan peluang besar yang penuh keutamaan, namun
masih saja belum mendapatkan ampunan, benar-benar orang itu sangat rugi. Bahkan
celaka.
بَعُدَ مَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ،
فَلَمْ يُغْفَرْ لَهُ
Celakalah seorang yang memasuki
bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni (HR.
Hakim dan Thabrani)
Masalahnya adalah, apakah seseorang
bisa menjamin bahwa dirinya mendapatkan ampunan itu. Sementara jika ia tidak
dapat ampunan, ia celaka. Betapa hal yang tidak dapat dipastikan ini menyentuh
rasa khauf para sahabat dan orang-orang shalih. Mereka takut sekiranya
menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal Ramadhan
akan segera pergi. Maka mereka pun menangis, meluapkan ketakutannya kepada
Allah seraya bermunajat agar amal-amalnya diterima.
السَّمِيعُ الْعَلِيمُ رَبَّنَا
تَقَبَّلْ مِنَّا صِيَامَنَا وَقِيَمَنَا وَرُكُوْعَنَا وَسُجُوْدَنَا وَتِلَا
وَتَنَا إِنَّكَ أَنْتَ
Wahai Rabb kami… terimalah puasa
kami, shalat kami, ruku’ kami, sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Para sahabat dan orang-orang shalih
bukan hanya berdoa di akhir Ramadhan. Bahkan, konon, rasa khauf membuat
mereka berdoa selama enam bulan agar amal-amal di bulan Ramadhan mereka
diterima Allah SWT. Lalu enam bulan setelahnya mereka berdoa agar dipertemukan
dengan Ramadhan berikutnya.
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Perbedaan tashawur (paradigma,
persepsi) dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan
sikap antara generasi sahabat dan generasi kita saat ini. Jika sebagian
masyarakat, seperti dikemukakan di atas, asyik berbelanja menyambut Idul Fitri,
para sahabat asyik beri’tikaf di sepuluh hari terakhir. Maka bisa kita
bayangkan bahwa Madinah di era Rasulullah di sepuluh hari terakhir Ramadhan
layaknya seperti kota setengah mati. Sebab para lelaki beri’tikaf di
masjid-masjid. Bahkan begitu pula sebagian para wanitanya.
Jika kita sibuk menyiapkan kue
lebaran, para sahabat dan salafus shalih sibuk memenuhi makanan ruhaninya
dengan mengencangkan ikat pinggang, bersungguh-sungguh beribadah sepanjang
siang, terlebih lagi di waktu malam.
Jika kita mengalokasikan banyak uang
dan waktu untuk membeli pakaian baru, para sahabat dan salafus shalih
menghabiskan waktu mereka dengan pakaian taqwa. Dengan pakaian taqwa itu mereka
menghadap Allah di masjid-Nya, berduaan dan bermesraan dalam khusyu’nya shalat,
tilawah, dzikir, dan munajat.
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Masih ada Waktu, Ada Harapan, Kita Maksimalkan |
Masih ada waktu bagi kita,
Masih ada waktu bagi kita sebelum
Ramadhan pergi. Masih ada kesempatan bagi kita untuk mengubah tashawur tentang
akhir Ramadhan. Maka beberapa hari ke depan bisa kita perbaiki sikap kita.
Pertama, kita lihat lagi target Ramadhan yang telah kita tetapkan
sebelumnya. Mungkin target tilawah kita. Masih ada waktu untuk mengejar, jika
seandainya kita masih jauh dari target itu. Demikian pula kita evaluasi ibadah
lainnya selama 28 hari ini. Lalu kita perbaiki.
Kedua, kita lebih bersungguh-sungguh memanfaatkan Ramadhan yang
tersisa sedikit ini. Mungkin kita tak bisa beri’tikaf penuh waktu seperti para
sahabat dan salafus shalih itu. Namun jangan sampai kita kehilangan malam-malam
terakhir Ramadhan tanpa qiyamullail, tanpa beri’tikaf –lama atau sebentar- di
masjid-Nya.
Saudaraku yang dirahmati Allah,
Bulan Ramadhan merupakan momentum peningkatan
kebaikan bagi orang-orang yang bertaqwa dan ladang amal bagi orang-orang
shalih. Terutama, sepuluh hari terakhir Ramadhan.
Dari ummul mukminin, Aisyah RA,
menceritakan tentang kondisi Nabi SAW ketika memasuki sepuluh hari terakhir
Ramadhan:
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها –
قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ
أَحْيَا اللَّيْلَ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ وَجَدَّ وَشَدَّ الْمِئْزَرَ
Dari Aisyah RA berkata: “Rasulullah
SAW jika telah masuk sepuluh terakhir bulan Ramadhan menghidupkan malam,
membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggang”. (Muttafaq ‘alaih)
Apa rahasia perhatian lebih beliau
terhadap sepuluh hari terakhir Ramadhan? Paling tidak ada dua sebab utama:
Sebab pertama, karena sepuluh terakhir ini merupakan penutupan bulan
Ramadhan, sedangkan amal perbuatan itu tergantung pada penutupannya atau
akhirnya. Rasulullah SAW berdoa:
“اللهم
اجعل خير عمري آخره وخير عملي خواتمه وخير أيامي يوم ألقاك”
“Ya Allah, jadikan sebaik-baik
umurku adalah penghujungnya. Dan jadikan sebaik-baik amalku adalah
pamungkasnya. Dan jadikan sebaik-baik hari-hariku adalah hari di mana saya
berjumpa dengan-Mu Kelak.”
Jadi, yang penting adalah hendaknya
setiap manusia mengakhiri hidupnya atau perbuatannya dengan kebaikan. Karena
boleh jadi ada orang yang jejak hidupnya melakukan sebagian kebaikan, namun ia
memilih mengakhiri hidupnya dengan kejelekan.
Sepuluh akhir Ramadhan merupakan
pamungkas bulan ini, sehingga hendaknya setiap manusia mengakhiri Ramadhan
dengan kebaikan, yaitu dengan mencurahkan daya dan upaya untuk meningkatkan
amaliyah ibadah di sepanjang sepuluh hari akhir Ramadhan ini.
Sebab kedua, karena dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan
turunnya lailatul qadar, karena lailatul qadar bisa juga turun
pada bulan Ramadhan secara keseluruhan, sesuai dengan firman Allah swt.
إنا أنزلناه في ليلة القدر
“Sesungguhnya Kami telah turunkan
Al Qur’an pada malam kemuliaan.”
Allah SWT juga berfirman:
شهر رمضان الذي أنزل فيه القرآن هدى
للناس وبينات من الهدى والفرقان
“Bulan Ramadhan, adalah bulan
diturunkan di dalamnya Al Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan
dari petunjuk dan pembeda -antara yang hak dan yang batil-.”
Dalam hadits disebutkan: “Telah
datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan di dalamnya ada lailatul qadar,
malam lebih baik dari seribu bulan.
Al Qur’an dan hadits shahih
menunjukkan bahwa lailatul qadar itu turun di bulan Ramadhan. Dan boleh
jadi di sepanjang bulan Ramadhan semua, lebih lagi di sepuluh terakhir
Ramadhan. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
“التمسوها في العشر الأواخر من
رمضان“.
“Carilah lailatul qadar di sepuluh
terakhir Ramadhan.”
Pertanyaan berikutnya, apakah
lailatul qadar di seluruh sepuluh akhir Ramadhan atau di bilangan ganjilnya
saja? Banyak hadits yang menerangkan lailatul qadar berada di sepuluh
hari terakhir. Dan juga banyak hadits yang menerangkan lailatul qadar
ada di bilangan ganjil akhir Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda:
“التمسوها في العشر الأواخر
وفي الأوتار”
“Carilah lailatul qadar di sepuluh
hari terakhir dan di bilangan ganjil.”
Oleh karena itu, mari kita berlomba
meraih lailatul qadar di sepuluh hari terakhir Ramadhan, baik di
bilangan ganjilnya atau di bilangan genapnya. Karena tidak ada konsensus atau
ijma’ tentang kapan turunnya lailatul qadar.
Di kalangan umat muslim masyhur
bahwa lailatul qadar itu turun pada tanggal 27 Ramadhan, sebagaimana
pendapat Ibnu Abbas, Ubai bin Ka’ab dan Ibnu Umar radhiyallahu anhum. Akan
tetapi sekali lagi tidak ada konsensus pastinya.
Sehingga imam Ibnu Hajar dalam kitab
“Fathul Bari” menyebutkan, “Paling tidak ada 39 pendapat berbeda tentang
kapan lailatul qadar.”
Ada yang berpendapat ia turun di
malam dua puluh satu, ada yang berpendapat malam dua puluh tiga, dua puluh
lima, bahkan ada yang berpendapat tidak tertentu. Ada yang berpendapat lailatul
qadar pindah-pindah atau ganti-ganti, pendapat lain lailatul qadar ada di
sepanjang tahun. Dan pendapat lainnya yang berbeda-beda.
Untuk lebih hati-hati dan
antisipasi, hendaknya setiap manusia menghidupkan sepuluh hari akhir Ramadhan.
Apa yang disunnahkan untuk
dikerjakan pada sepuluh hari akhir Ramadhan?
Adalah qiyamullail, sebelumnya
didahului dengan shalat tarawih dengan khusyu’. Qira’atul Qur’an, dzikir kepada
Allah, seperti tasbih, tahlil, tahmid dan takbir, istighfar, doa, shalawat atas
nabi dan melaksanakan kebaikan-kebaikan yang lainnya.
Lebih khusus memperbanyak doa yang
ma’tsur Seperti yang diriwayatkan oleh Aisyah:
اللَّهُمَّ إنَّك عَفُوٌّ تُحِبُّ
الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي
(Ya Allah, Engkau Dzat Pengampun,
Engkau mencintai orang yang meminta maaf, maka ampunilah saya.” (Ahmad dan dishahihkan oleh Al-Albani)
Patut kita renungkan, wahai
saudaraku: “Laa takuunuu Ramadhaniyyan, walaakin kuunuu Rabbaniyyan.
Janganlah kita menjadi hamba Ramadhan, tapi jadilah hamba Tuhan.” Karena
ada sebagian manusia yang menyibukkan diri di bulan Ramadhan dengan ketaatan
dan qiraatul Qur’an, kemudian ia meninggalkan itu semua bersamaan berlalunya
Ramadhan.
Kami katakan kepadanya: “Barangsiapa
menyembah Ramadhan, maka Ramadhan telah mati. Namun barangsiapa yang menyembah
Allah, maka Allah tetap hidup dan tidak akan pernah mati.”
Allah cinta agar manusia taat
sepanjang zaman, sebagaimana Allah murka terhadap orang yang bermaksiat di
sepanjang waktu.
Dan karena kita ingin mengambil
bekal sebanyak mungkin di satu bulan ini, untuk mengarungi sebelas bulan
berikutnya.
Kita mungkin tidak bisa bersedih dan
menangis sehebat para sahabat, namun selayaknya kita pun takut sebab tak ada
jaminan apakah amal kita selama 28 hari ini diterima, begitu pula tak ada
jaminan apakah kita dipertemukan dengan Ramadhan tahun berikutnya. Lalu kita
pun kemudian memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah serta berdoa lebih
sungguh-sungguh kepada-Nya.
بارك الله لي ولكم في القرآن العظيم.
وتفعني وإياكم بما فيه من الآيات والذكر الحكيم وتقبل الله منّي ومنكم تلاوته إنه
هوالسميع العليم. واستغفروه إنه هو الغفور الرحيم.
وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ
وَأَنْتَ خَيْرُ الرَّاحِمِينَ
Sumber: http://www.dakwatuna.com